1. PENDAHULUAN
Siswa sebagai manusia secara kodrat memiliki tiga fungsi yaitu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan alam dan dalam hubungannya dengan Tuhan. Siswa dalam hubungannya dengan lingkungan sosial adalah bagaimana siswa tersebut melalui pembelajaran di sekolah dapat belajar berinteraksi dengan siswa dan manusia lain dalam kapasitasnya bergaul dalam masyarakat.
Keterbelakangan siswa Indonesia selama ini ditengarai sebagai suatu akibat rendahnya kompetensi sosial yang mereka miliki. Dimana di sekolah mereka selalu dicekoki dengan hafalan, rumus dan angka tanpa tahu manfaatnya bagi kehidupan bergaul dengan masyarakat. Keadaan ini mengakibatkan kesadaran para pemerhati pendidikan untuk mempengaruhi kebijakan agar kurikulum pendidikan sinergi dengan perkembangan lingkungan sosial. Sehingga pentingnya pengenalan media pembelajaran IPS sebagai sarana meningkatkan kompetensi sosial siswa adalah sangat penting.
Penggunaan media IPS diharapkan dapat bermanfaat banyak bagi pengembangan aspek kecerdasan emosional sosial siswa (EQ), yang akan mendukung bagi perkembangan SQ (Spiritual Question) dan bukan hanya dijejali dengan aspek IQ (Intelegence Question) . Akan tetapi kecendrungan akhir-akhhir ini media IPS selalu dikaitkan dengan penggunaan media elektronik sebagai bagian dari kemajuan iptek dalam kerangka globalisasi. Apakah media elektronik hanya satu-satunya jenis media pendidikan IPS ?
Di bawah ini akan dipaparkan seklumit uraian tentang media elektronik sebagai media pembelajaran IPS sebagai satu alternatif dari sekian banyaknya media pembelajaran yang dapat digunakan pada mata pelajaran IPS. Sehingga guru dalam membelajarkan IPS mempunyai banyak alternatif dalam mengajarkan IPS bukan hanya mengandalkan media elektronik sehingga dapat mengatasi keterbatasan sumber pendukung utamanya dana terutama di sekolah dasar.
2. MEDIA PEMBELAJARAN IPS
Media adalah sarana untuk mendekatkan siswa dengan sumber belajar melalui penggunaan metode yang relevan. Dalam rangka mengembangkan aspek sosial siswa maka media pembelajaran IPS menjadi suatu hal yang mutlak digunakan dalam setiap pembelajaran. Terdapat beberapa jenis media yang dapat digunakan dalam membelajarkan IPS yaitu :
1. Media gambar, berupa foto obyek, sketsa gambar, peta dan denah yang berhubungan dengan materi pembelajaran IPS.
2. Media multimedia yang menampilkan suara dan gambar bergerak yang berhubungan dengan pembelajaran IPS
3. Media kokrit yaitu suasana lingkungan sosial yang nyata yang berhubungan dengan pembelajaran IPS.
Dari beberapa jenis media tersebut media gambar dan multimedia dapat dapat ditayangkan dengan baik melalui kemampuan sarana elektronik untuk mengolah dan menampilkan gambar. Contohnya adalah VCD/DVD dan monitor TV, OHP, LCD dan perangkat komputer. Kemampuannya yang baik dalam menampilkan efek visual akan dapat membantu guru dalam mendekatkan siswa kepada materi yang dibelajarkan. Sehingga harapan guru untuk menciptakan suasana belajar yang bermakna akan tercapai.
Secara teknis semua jenis pembelajaran dapat diusahakan menggunakan media elektronik sehingga segala suasana dan bentuk obyek apapun dapat dimanipulasi untuk ditampilkan melalui media elektronik tersebut. Apalagi dengan adanya sarana internet yang dapat diakses kapan saja dari atas meja di dalam kamar sehingga akan membuat siswa dapat belajar dari dalam kamar. Mereka dapat belajar apapun dari dalam kamar. Bahkan mereka kelak jika sudah fasih dapat menghasilkan uang dari hanya berhadapan dengan perangkat komputer yang online. Dampak yang kemudian timbul akibat dari keadaan itu adalah siswa yang hanya bergaul dengan temannya hanya dari dalam kamar. Demikian juga dengan menggunaan media elektronik dapat menyebabkan ketergantungan guru yang begitu besar dengan ketersediaan perangkat tersebut. Sehingga akan mengakibatkan pemborosan sumber dana.
Secara efektifitas media elektronik adalah sangat baik digunakan dalam pembelajaran IPS. Akan tetapi secara prinsip media elektronik berpotensi menjauhkan siswa dari aspek hakekat hidupnya sebagai mahluk sosial. Secara nyata mahluk sosial adalah mahluk yang dapat berinteraksi dengan jenisnya secara langsung. Dengan hadirnya media elektronik seolah terjadi pembatasan.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam pembelajaran IPS hendaknya guru berusaha menyeimbangkan penggunaan media elektronik yang bersifat instan dengan media sosial lainnya yang konkrit. Sehingga siswa dapat mengembangkan aspek EQ dengan baik yang manfaatnya kelak akan berguna bagi siswa dalam kegiatan bersosialisasi di masyarakat. Sebab dengan bersosialisasi mereka akan tahu apa sesungguhnya makna hidup. Karna hidup bukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan materi akan tetapi mendapat pengakuan sosial berupa aktualisasi diri sebagai suatu kebutuhan manusia yang paling tinggi seperti yang digambarkan dalam piramid kebutuhan ala Maslow.
3. KESIMPULAN
Siswa sebagai pebelajar membutuhkan layanan pendidikan yang utuh baik dari segi IQ, SQ dan EQ. Sehingga pada pembelajaran IPS di SD harus memperhatikan siswa sebagai bagian dari kapasitasnya sebagai mahluk individu, mahluk sosial dan mahluk Tuhan. Pengembangan media pembelajaran IPS hendaknya sedapat mungkin mempertimbangkan hal-hal tersebut.
Media pembelajaran IPS dapat dibedakan atas media gambar, media multimedia dan media konkrit. Penggunaan media multimedia memiliki keunggulan secara teknis jika dipandang dari kemampuannya untuk mengolah data dan menampilkan gambar. Sehingga menyebabkan ketertarikan para guru untuk menggunakan media elektronik multimedia karna fungsinya yang sangat banyak.
Media pembelajaran elektronik bukan hanya satu-satunya media yang dapat diterapkan pada pembelajaran IPS SD. Untuk lebih mengedepankan aspek EQ pada siswa maka keseimbangan penggunaan media elektronik dan media konkrit adalah tindakan tepat dalam mewujudkan harapan guru agar siswanya kelak dapat bersosialisasi diri gunr mencari aktualisasi diri.
sumber : http://baliteacher.blogspot.com/2010/05/pembelajaran-ips-dan-media-elektronik.html
KEMISKINAN DALAM OPOSISI BINER
Di era global ini, salah satu
kata yang sangat populer adalah kemiskinan. Coba perhatikan ketika masa
kampanye pada pemilu dpr dan presiden kemarin. Banyak partai dan capres yang
menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai daya tarik. Bantuan langsung tunai
bagi khalayak miskin pun jadi rebutan parpol.
Bahkan pasangan Mega-Prabowo membuat deklarasi di Tempat Pembuangan
Sampah yang dipahami sebagai salah satu simbol kemiskinan, meski akhirnya kalah.
Sejak paruh kedua abad
XX, kemiskinan memperoleh perhatian dari berbagai kalangan di dunia. Banyak
pemikiran dan usaha dicurahkan, keringat dicucurkan untuk memerangi kemiskinan
demi terwujudnya impian lahirnya masyarakat sejahtera. Pada masa itu, dunia
didominasi oleh pemikiran bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari kemiskinan
adalah melalui pembangunan. Saking bersemangatnya, Orde Baru pun menamai
kabinetnya dengan sebutan kabinet pembangunan, sebagai manifestasi dari
komitmen yang tinggi untuk memerangi kemiskinan. Di Amerika Latin pun
berkembang apa yang dinamakan teologi kemakmuran. Pancaran kasih Tuhan ada
dalam eksistensi kemakmuran, dan Pancaran cinta setan ada dalam eksistensi
kemiskinan.
Naga-naganya, perang terhadap
kemiskinan belum akan segera berakhir. Ketika pembangunan gagal menciptakan
masyarakat sejahtera, berbagai ahli mencoba mencari tahu penyebabnya. Ahli dari
Dunia Ketiga mengajukan pemikiran bahwa kemiskinan negara-negara bekas jajahan
terutama disebabkan oleh kolonisasi dan ketergantungan. Selama masa kolonisasi,
negara penjajah menguras semua potensi, baik ekonomi, sosial maupun kultural,
sehingga masyarakat jajahan menjadi kaum miskin abadi. Ketika kemerdekaan dapat
diproklamasikan, negara penjajah tetap melakukan pengurasan melalui
neo-kolonialisme atau penjajahan jarak jauh. Dengan bermodal uang, ilmu dan
teknologi, negara-negara penjajah menjadikan Dunia Ketiga sebagai sapi perahan
yang wajib menyetorkan susu sebaga upeti, bunga atau apapun namanya, kepada
bos.
Tuduhan kaum intelektual Dunia
Ketiga yang menjadikan Dunia Pertama sebagai tokoh antagonis, tentu tidak dapat
diterima. Sebaliknya mereka mengajukan pikiran tandingan bahwa kemiskinan Dunia
Ketiga adalah karena budayanya yang mistik, malas, tradisional dan statis. Underdevelopment
is A State of Mind menjadi
judul buku lawrence
E. Harrison yang memukul balik semua tuduhan di atas. Solusi yang ditawarkan
pun jelas, yaitu mengembangkan kebudayaan dunia ketiga menjadi legal-rasional
dan progresif. Makanya jangan
heran kalau kemudian muncul program pengembangan enterpreneurship di dunia pendidikan Indonesia, bahkan pakai
bintang cantik Dian Sastro sebagai ikonnya. Banyak lagi program yang disusun
untuk mengubah konstruk mental, agar paling tidak tetap menjadi pengikut setia
arahan Dunia Pertama.
Benarkah kemiskinan merupakan
sesuatu yang najis, sehingga perlu dihindari oleh seluruh umat manusia? Dalam
Etika Protestan, sikap utama yang ditonjolkan adalah miskin. Kepercayaan mereka
berinti pada pandangan bahwa semua harta dan segala benda di dunia ini adalah
milik Tuhan, sehingga manusia wajib menjaga dan mengembangkannya dengan taruhan
jiwa dan raga. Bukan berarti tidak boleh mengkonsumsi benda milik Tuhan.
Manusia boleh memakannya, meminumnya atau apa saja, sebatas untuk
mempertahankan hidup. Yang dilarang adalah menikmatinya atau menyamankan diri
dengan menggunakan milikNya.
Kerja keras untuk proyek
pengembangan harta Tuhan inilah yang kemudian melahirkan bullionisme dan
merkantilisme di jaman berikutnya. Apresiasi tinggi terhadap harta Tuhan
diwujudkan dengan mengembangkan sebanyak mungkin dan mengkonsumsi sesedikit
mungkin. Dengan menjadi miskin, manusia sesungguhnya akan mampu mengembangkan
kekayaan berlimpah, dan kekayaan itu adalah milik Tuhan yang harus terus dijaga
dan dikembangkan. Akibatnya, terjadilah penumpukan kekayaan Tuhan yang dalam
bahasa ekonomi disebut sebagai kapital atau modal. Disinilah muncul kapitalisme
sebagai usaha mengembangkan kapital. Orang Indonesiapun sebenarnya memiliki
ajaran itu, bahkan jauh sebelum orang Protestan, yaitu laku prihatin. Kerja
keras, tetapi sesedikit mungkin mengolah dan memanfaatkan alam untuk
kepentingan pribadi.
Dua khasanah pemikiran
menempatkan kemiskinan dalam posisi yang mulia. Dengan kemiskinan, harga diri
manusia tidak lagi dilekatkan pada benda-benda duniawi, tetapi semata kepada
ketulusan hati dan kebersihan jiwa. Relasi antar manusia pun jauh dari
pemikiran transaksi ekonomi. Orang lain direngkuhnya sebagai saudara atau dalam
bahasa Latin sebagai socius.
Kehidupan masyarakatpun berlangsung dalam damai harmoni dengan sesama dan alam.
Tidak hanya mulia, kemiskinan juga
merupakan wujud tertinggi kesetiaan manusia kepada Tuhan Sang Pencipta. Dalam
kitab kuno dicatat bahwa orang miskin adalah pemilik kunci surga. Dengan
menjalani hidup miskin, manusia dapat terhindar dari merugikan orang lain dan
alam. Manusia tidak perlu menebang hutan berjuta hektar, tidak perlu mengeruk
batu bara, tidak perlu korupsi dan berbuat hal-hal lain yang membawa mudharat.
Manusia juga terhindar dari sifat mencari keuntungan pribadi dengan memeras keringat
atau mengeksploatasi saudara dan tetangga. Bagi yang khusuk beragama, percaya bahwa hanya
dengan kemiskinan, manusia dapat sepenuhnya hidup demi sebesar-besarnya
kemuliaan Tuhan: ad maiorem dei gloriam.
Sumber : https://sites.google.com/site/sketsadamai/home/arti/kemiskinan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar